Kami dari Sastra Indonesia kelas A,
angkatan 2016, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman, mengadakan
kunjungan ke Makam La Mohang Daeng Mangkona di Samarinda Seberang pada tanggal
8 April 2017.
Dari Samarinda Kota menuju
Samarinda Seberang menggunakan kendaraan bermotor, masing-masing motor dinaiki
oleh dua orang mahasiswa/i. Kami dijawalkan berangkat pada pukul 08.00 WITA,
namun karena masih banyak mahasiswa/i yang belum datang dititik awal pertemuan,
yaitu di Fakultas Ilmu Budaya, maka jadwal keberangkatan diundur sampai jam
10.00 WITA. Setelah Dosen pembimbing dan
semua mahasiswa/i datang, setiap kelas Sastra Indonesia harus mengabsen
teman-teman yang hadir, lalu lanjut do’a bersama, setelah langsung berangkat
menuju Makam La Mohang Daeng Mangkona. Lama perjalanan kami tempuh dari
Fakultas Ilmu Budaya menuju Makam Daeng Mangkona adalah sekitar 30 menit.
Seletah sampai di lokasi, kami
langsung bertemu dengan juru kunci makam yaitu Pak Abdillah. Setelah berbincang
sebentar, kami langsung dipersilahkan untuk melihat Makam La Mohang Daeng
Mangkona. Makam Daeng Mangkona berana di dalam rumah terbuka. Maksudnya,
bangunan rumah yang hanya dikelilingi oleh pagar bukan dinding. Rumah terbuka
tersebut baru dibangun pada tahun 1994.

Di sana kami mendengarkan cerita
dari Pak Abdillah tentang Daeng Mangkona. Dari cerita yang bisa saya tangkap, Daeng
Mangkona adalah seorang perantauan yang berlabuh di pulau kalimantan
menggunakan kapal dengan membawa sekitar
200 pengikut. Beliau adalah
pendiri Kota Samarinda Seberang. Beliau juga salah satu penyebar agama islam di
wilayah Kota Samarnda Seberang. Beliau digambarkan bertubuh besar, memakai
sorban warna putih dan besar tasbihnya sebesar biji pinang. Beliau diberi
wilayah Samarinda Seberang oleh kerajaan Kutai untuk mengawasi wilayah
tersebut. Awalnya Kota Samarinda di sebut Samarenda (Sama Rendah), dikatakan
begitu karena berada dipinggiran sungai dan rumah yang berada disana adalah
rumah panggung serta tidak ada perbedaan kaya dan miskin.
Sampai sekarang belum diketahui di
mana letak rumah La Mohang Daeng Mangkona, dan kapan beliau meninggal serta
karena apa beliau meninggal. Makam Daeng Mangkona sudah berusia 300 tahun. Kayu
Nisan yang digunakan patokan belum diketahui berasal dari kayu Kalimantan atau
kayu Sulawesi. Kain kuning yang melilit di nisan beliau di ibaratkan nazar.
Pak Abdillah berkata, makam yang ada
disana berjumlah sekitar 100 makam. Diantaranya ada yang sudah rusak. Di paling
belakang ada makam pengikut beliau yang berhinat kepada beliau. Juru kunci
pertama sekaligus penemu makam yaitu kakeknya, Muhammad Toha, berlanjut ke ayahnya
yang bernama Suriansyah, dan sekarang berlanjut Pak Abdillah sendiri.
Di Makam La Mohang Daeng Mangkona
sering dilakukan ritual saat menjelang bulan suci ramadhan. Adapula orang yang
berkunjug untuk melakukan serangkaian ritual yang melenceng dari agama islam.
Setelah selesai bercerita, bapak Abdillah
memberikan waktu sesi tanya jawab kepada kami. Banyak mahasiswa/i yang bertanya
tentang La Mohang Daeng Mangkona. Dalam sesi tanya jawab, Pak Abdillah juga
memberika jawaban sambil becanda gurau agar suasananya tidak begitu
menegangkan. Selama awal perbincangan sampai di akhir sesi tanya jawab. Ada
beberapa mahasiswa/i yang merekam ucapan Pak Abdillah adapula yang mencatatnya.
Setelah melakukan sesi tanya jawab,
kami dipersilahkan untuk melihat-lihat makam para pengikut La Mohang Daeng
Mangkona. Banyak makam yag sudah rusak, namun ada juga yang masih utuh. Di
sekitar makam tersebut terdapat banyak pohon buah seperti mangga. Kata Abdillah
alasannya agar di sekitar makam tersebut tidak begitu menakutkan.
Kami mengambil beberapa foto makam
Daeng Mangkona dan para pengikutnya. Kami juga tak lupa berfoto bersama replika
kapal yang dipakai oleh Daeng Mangkona saat berlayar dari Sulawesi menuju
Kalimantan. Setelah asyik berfoto-foto, kamipun segera perpamitan kepada Pak
Abdillah untuk pulang.
Legenda
Arti
kata legenda dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah cerita rakyat pada zaman
dahulu yang ada hubugannya dengan cerita sejarah. Menurut buku Sari Kata Bahasa
Indonesia, Legenda adalah cerita rakyat zaman dahulu yang berkaitan denga
peristiwa asal usul terjadinya suatu tempat. Walaupun demikian, karena tidak
tertulis maka kisah tersebut telah terjadi distorsi sehingga seringkali jauh
berbeda dari kisah aslinya. Oleh karena itu, jika legenda hendak di pergunakan
sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah maka legenda harus bersih dari unsur-unsur
yang mengandung sifat-sifat folklor.Jan Harold Brunvand menggolongkan legenda
menjadi empat kelompok, yaitu legenda keagamaan, legenda alam gaib legenda
perseorangan, dan legenda setempat.
1.
Legenda keagamaan (Religious Legends)
Legenda
keagamaan adalah legenda orang-orang yang dianggap suci atau saleh. Karya
semacam itu termasuk foklor karena versi asalnya masih tetap hidup dikalangan
masyarakat sebagai tradisi lisan.
2.
Legenda Alam Gaib (Supernatural Legends)
Legenda
macam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar pernah terjadi dan
pernah di alami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan
kebenaran “takhayul” atau kepercayaan rakyat.
3.
Legenda Perseorangan (Personal Legends)
Legenda
perseorangan merupakan cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap
benar-benar terjadi.
4.
Legenda Setempat (Local Legends)
Legenda
setempat adalah cerita yang berhubugan dengan suatu tempat, nama tempat dan
bentuk topografi, yaitu bentuk permukaan suatu tempat, berbukit-bukit, berjurang
dan sebagainya.
Sejarah
La Mohang Daeng Mangkona
La Mohang Daeng Mangkona adalah
seorang tokoh penting dalam cikal-bakal berdirinya kota Samarinda di Provinsi
Kalimantan Timur saat ini. Daeng Mangkona mendirikan pemukiman di Tanah Rendah
bersama rombongan dari tanah Wajo pada tahun 1668 dan dari situlah awal mula
perkembangan Kota Smarinda.
La Mohang Daeng Mangkona bersama
rombongan dari Wajo memilih meninggalkan kampung halamannya daripada harus
tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda yang waktu itu sudah menguasai
Kerajaan Gowa akibat perjanjian Bongaya. Daeng Mangkona memilih daerah pulau
Borneo dan singgah di wilayah kesultana Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
(Pangeran Dipati Modjo Kusumo) setelah meminta izin pada Sultan Kutai waktu
itu, Daeng Mangkona beserta rombongan diizinkan untuk menetap di suatu daerah
bernama Tanah Rendah. Sejak saat itulah, wilayah Tanah Rendah didiami oleh
Daeng Mangkona dan mengembangkan daerah Tanah Rendah menjadi sebuah pusat
perdagangan maupun sebagai pelabuhan singgah.
Hari lahir Kota Samarinda di
tetapkan pada tanggal 21 Januari 1668, yaitu tanggal kedatangaan La Mohang
Daeng Mangkona yang mula-mula membangun kota ini (Samarinda Seberang sekarang).
Pada tahun 1665, rombongan orang-orang Bugis Wajo yan dipimpin La Mohang Daeng
Mangkona (bergelar Pua Ado) hijrah dari
tanah kesultanan Gowa ke Kesultanan Kutai. Mereka hijrah keluar pulau hingga ke
Kesultanan Kutai karena tidak mau tunduk dan patuh terhadap perjanjian Bongaya,
setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserah oleh pasukan Belanda. Kedatangan
orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan
Kutai.
Sekitar tahun 1668, Sultan yang
dipertuan oleh Kerajaan Kutai memerintahkan Pua Ado beserta pengikutnya yang
asal Tanah Sulawesi untuk membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan
perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan
bajak lau asal Filipina yang sering melakukan perampokan diberbagai daerah
pantai wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu Sultan yang dikenal
bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang
mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampugan
tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama Sama Rendah bermaksud
agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada
perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya.
Sejak saat itulah Daeng Mangkona
beserta pengikutnya tersebut mengembagkan daerah Tanah Rendah yang sekarang
menjadi Samarinda. Maka dari itu dihadiahkan wilayah tepi Samarinda Seberang
sebagai tempat bermukim para pendatag dari suku Bugis Wajo sebagai rasa terima
kasih telah banyak membantu Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Kesimpulan
dan Saran
Bukan Cuma kepercayaan masyarakat
saja, tapi dari pemeritah sendiri sudah melakukan penelitian dan membenarkan
bahwa makam tersebut merupakan peristirahatn terakhir Daeng Mangkona.
Saran yang bisa saya berikan,
alangkah baiknya jika makam para pengikut Daeng mangkona di perbaiki agar menjadi tempat
peristirahatan yang layak untuk para rombongan Bugis Wajo yang membangun Kota
Samarinda bersama Daeng Mangkona.
Dan alangkah baiknya pula, jika
para ahli meneliti lagi atau menelusuri kembali mengenai sejarahnya La Mohang
Daeng Mangkona. Makam La Mohang Daeng Mangkona adalah salah satu Cagar Budaya,
yang pastinya akan menjadi tempat penting bagi para penikmat wisata termsuk
para pelajar yang berkecimpung ke dalam masalah kebudayaan dan sejarah.
Lokasi
Situs Makam
Makam La Mohang Daeg Mangkona
terletak di Jln. Mas Penghulu Kelurahan Mesjid, Samarinda Seberang. Agak sussah
menuju makam ini disebebkan perbaikan jalan dan jalan kecil yang hanya dapat
dilewati kendaraan roda dua dan roda empat.
Sumber
:
Tim Abdi Guru. 2004. Seribu Pena
Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga
Hendrayana. 2009. Sejarah 1:
Sekolah Menengah Atas dan Madrasah
Aliyah Jilid 1 Kela X. Jakarta, p.202
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu
Sejarah. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka
Sarip, Muhammad.2016. Alamah
Sejarah Samarinda. Samarinda: Komunitas Samarida Bahari