Nyanyian Rakyat Lir Ilir dari Pulau Jawa

On Rabu, 26 April 2017 0 komentar


Nyanyian rakyat (Folksong) adalah salah satu bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara masyarakat tertentu  dan berbentuk tradisional serta banyak memiliki variasi. Nyanyian rakyat lebih luas dan cepat beredar dikalangan masyarakat karena banyak digemari, baik oleh kalangan anak-anak, remaja, maupun orang tua. Nyanyian rakyat biasanya dinyanyikan untuk mengiringi kegiatan sehari-hari seperti bermain, bekerja, dan saat santai. Nyanyian rakyat memiliki perbedaan dengan nyanyian lainnya, seperti pop atau klasik. Hal ini karena sifat dari nyanyian rakyat yang mudah dapat berubah-ubah, baik bentuk maupun isinya. Sifat kaku ini tidak dimiliki oleh bentuk nyanyian lainnya. Fungsi dari nyanyian rakyat adalah rekreatif, yaitu mengusir kebosanan hidup sehari-hari maupun untuk menghindari dari kesukaran hidup sehingga dapat menjadi pelipur lara.
Membahas tentang nyanyian rakyat, kali ini saya akan menerjemahkan salah satu nyanyian rakyat yang berasal dari Pulau Jawa. Saya akan menerjemahkan lirik lagu Lir Ilir yang di ciptakan dan di gunakan oleh Sunan Kalijaga untuk mendakwah menyebarkan agama islam di Pulau Jawa. Berikut ini adalah lirik dari lagu Lir Ilir beserta terjemahannya:

Lir Ilir

Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro

Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane
Yo surako... surak iyo...

[Terjemahan]
Bangunlah

Bangunlah, bangunlah
Tanaman sudah bersemi
Demikian menghijau bagaikan pengantin baru
Anak gembala, anak gembala panjatlah (pohon) belimbing itu
Biar licin dan susah tetaplah kau panjat untuk membasuh pakaiannmu

Pakaianmu, pakaianmy terkoyak-koyak di bagian samping
Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore
Mumpung bulan bersinar, mumpung banyak waktu luang
Ayo bersoraklah dengan sorakan iya

Lagu ini memiliki makna yang mendalam dan makna khusus karena lagu ini bukan lagu biasa. Jika kita dapat memakainya secara mendalam, lagu ini sebagai inspirasi kacamata kehidupan kita. Lagu karya Sunan Kalijaga ini memberikan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yag indah. Carrol McLaughlin, seorang profesor harpa dari Arizona University terkagum-kagum dengan lagu ini, beliau sering memainkannya.
Hijau sebagai simbol agama islam, kemunculannya menarik ibarat pengantin baru. Pemimpin yang mengembala rakyat kenalah islam sebagai agamamu. Ia ibarat belimbing dengan lima sisi sebagai lima rukun islam. Meskipun sulit dan banyak rintangan, sebarkanlah ke masyarakat dan anutlah. Guna untuk mensucikan diri dari segala dosa dan mensucikan aqidah. Terapkanlah islam secara kaffah sampai ke rakyat kecil. Perbaikilah apa yang telah menyimpang dari ajaran islam untuk dirimu dan orang lain guna bekal kamu di akhirat kelak. Mumpung masih hidup dan selagi masih diberikan kesempatan untuk bertobat. Dan berbahagialah, semoga selalu dirahmati Allah SWT.
Di era 90-an, lagu ini di populerkan kembali oleh Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dengan arasemen musik Kyai Kanjeng. Dalam bebagai literatur sejarah, lagu ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang mengandung pesan atau makna tentang asal-usul dan tujuan hidup. Memberikan rasa optimis kepada orang yang melakukan amal kebaikan demi hari akhir, karena kesempatan di dunia harus dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan.
Jadi, lagu Lir Ilir secara garis besar bermakna ajakan, seruan, mobilisasi bagi para juru dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga untuk mengembangkan nilai-nilai Islam di bumi Nusantara. Sunan Kalijaga juga mengingatkan kepada kita bahwa perbuatan baik dan amalan menempati peranan penting seperti lima rukun islam sebagai bekal yag menentukan keselamatan seseorang yang harus dibawa dan dipertanggungjawabkan saat mereka mengalami kematian kelak.


Sumber :
Dr. Purwardi. 2003. Sejarah sunan Kalijaga Sintesis Ajaran Wali Sanga Vs Syeh Siti. Yogyakarta: Jenar, Persada.
Sofan, Ridin. 2004. Islamisasi di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Read more ...»

PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR DAN JAWABAN TERHADAP ITU

On Senin, 24 April 2017 0 komentar


Harian Kompas 4 September 1974 menyiarkan acara baca puisi di Bandung, yang dikabarkan akan disertai penyair-penyair Bandung (Wing Kardjo, Senanto Yuliman, Saini K.M., Sutardji) dan luar kota, yaitu Muhammad Ali (Surabaya), Darmanto Jt (Semarang), Umbu Landu Paranggi (Yogyakarta), Taufik Ismail dan Slamet Kirnanto (Jakarta). “Selain pembacaan puisi juga akan diadakan pengadilan puisi,” tulis Kompas. “yaitu penilaian puisi Indonesia modern, yang ditulis oleh penyair-penyair kita.” Acara ini terbuka untuk umum.
Slamet Kirnanto yang dijadikan jaksa. Majelis hakim terdiri dari dua orang, yaitu Hakim Ketua Sanento Yuliman, didampingi Hakim Darmanto Jt. Sejumlah saksi pun sudah dipilih. Para hakim sudah duduk (meja mereka ditutup beledu hitam tapi pali sidang tak ada, jadi pakai batu dibungkus koran), jaksa dan pembela begitu pula, serta hadirin sekitar 200 orang di Aula Universitas Parahyangan.
Slamet Kirnanto membacakan tuntutannya yang diluar dugaan, judulnya degan semangat Zola 76 tahun yang lalu: “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indoneisa Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”
Dakwaan merupakan sejumlah kejengkelan terhadap kritik puisi, terhadap kritikus M.S. Hutagalung dan H.B. Jassin, terhadap penjagoan Subagio Sastrowardoyo oleh MSH serta penjagoan W.S. Rendra oleh HBJ.
Bunyi tuntutan seperti ini: Pertama, para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi mutakhir, khususnya HBJ dan MSH, harus “dipensiunkan” dari perananyang pernah mereka miliki. Kedua, para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Darmono) di cuti-besarkan. Ketiga, para penyair mapan seperti Subargio, Rendra, Goenawan, dan sebangsanya dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan, kemudian inkarnasinya dibuang pula kepulau paling terpencil. Keempat dan terakhir, Horison dan Budaya Jaya harus dicabut SIT-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku, dan dilarang untuk dibaca peminat sastra serta masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra dan puisi yang kita harapkan sehat dan wajar. Ini semua didasarkan atas “Ktab Undang-undang Hukum Puisi”.
Sebuah kursi kosong terletak di tengah ruanngan pengadilan, tempat duduk terdakwa yang tak berjasad: Puisi Mutakhir Indonesia. Tapi semua orang lupa dan saksi-saksi pun bergantian saja menduduki kursi terdakwa itu, sesudah menyeretnya kesana kemari. Barangkali ini mengandung perlambang juga pada pengadilan itu: orang jadi lupa pada isi puisi itu sendiri, tapi lebih mencereweti serta menyinyir-nyinyir tentang orang-orangnya (penyair, kritikus, diri sendiri secara langsung atau tak langsung) dan tentang mediumnya.
Saksi ada dua macam, yang memberatkan dan yang meringankan tuduhan,. Golongan pertama adalah Sutardji, Sides Sudyarto, Abdul Hadi dan Penusuk Eneste, kemudian golongan kedua Saini K.M., Wing Kardjo, Ardi Darmadji dan Yudhistira Ardi Noegraha. Personalia saksi berubah dari rencana semula karena Muhammad Ali (Surabaya) dan Umbu Landu Paranggi (Yogyakarta) ternyata tidak datang.
Pembela menolak keempat diktum tuduhan jaksa dengan uraian panjang lebarb dalam semangat pembelaan pengadilan plonco-plonci calon mahasiswa.
Sidang dihentikan sejenak untuk para hakim menyusun keputusan dengan mengindahkan Kitab Undang-undang Hukum Puisi, mempertimbangkan Hukum Adat serta membaca Cerita Adat.
Hakim Darmanto menolak semua tuntutan jaksa. Diputuskan pula bahwa Puisi Mutakhir Indonesia memang ada, Cuma belum berkembang. Bunyi keputusan :
Pertama, para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya, dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra yang akan segera didirikan.
Kedua, para redaktur Horizon tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka, selama mereka tidak merasa malu. Bila dikehendaki sendiri, mereka boleh mengundurkan diri.
Ketiga, para penyair mapan, established, masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk ke dalam Panti Asuhan atau Rumah Perawatan Epigon.
Keempat, majalah sastra Horizon tidak perlu dicabut Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbitnya, hanya di belakang nama lama harus diembel-embeli kata “Baru”, sehingga menjadi Horizon Baru. Masyarakat tetap mendapat izin membaca sastra dan membaca puisi.
Demikian keputusan majelis hakim.




Sumber :
Pemusuk Eneste : Pengadilan Puisi
Read more ...»

La Mohang Daeng Mangkona Sang Pendiri Kota Samarinda

On Selasa, 18 April 2017 0 komentar


Kami dari Sastra Indonesia kelas A, angkatan 2016, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman, mengadakan kunjungan ke Makam La Mohang Daeng Mangkona di Samarinda Seberang pada tanggal 8 April 2017.
Dari Samarinda Kota menuju Samarinda Seberang menggunakan kendaraan bermotor, masing-masing motor dinaiki oleh dua orang mahasiswa/i. Kami dijawalkan berangkat pada pukul 08.00 WITA, namun karena masih banyak mahasiswa/i yang belum datang dititik awal pertemuan, yaitu di Fakultas Ilmu Budaya, maka jadwal keberangkatan diundur sampai jam 10.00 WITA.  Setelah Dosen pembimbing dan semua mahasiswa/i datang, setiap kelas Sastra Indonesia harus mengabsen teman-teman yang hadir, lalu lanjut do’a bersama, setelah langsung berangkat menuju Makam La Mohang Daeng Mangkona. Lama perjalanan kami tempuh dari Fakultas Ilmu Budaya menuju Makam Daeng Mangkona adalah sekitar 30 menit.
Seletah sampai di lokasi, kami langsung bertemu dengan juru kunci makam yaitu Pak Abdillah. Setelah berbincang sebentar, kami langsung dipersilahkan untuk melihat Makam La Mohang Daeng Mangkona. Makam Daeng Mangkona berana di dalam rumah terbuka. Maksudnya, bangunan rumah yang hanya dikelilingi oleh pagar bukan dinding. Rumah terbuka tersebut baru dibangun pada tahun 1994.
Di sana kami mendengarkan cerita dari Pak Abdillah tentang Daeng Mangkona. Dari cerita yang bisa saya tangkap, Daeng Mangkona adalah seorang perantauan yang berlabuh di pulau kalimantan menggunakan kapal dengan membawa sekitar  200 pengikut. Beliau  adalah pendiri Kota Samarinda Seberang. Beliau juga salah satu penyebar agama islam di wilayah Kota Samarnda Seberang. Beliau digambarkan bertubuh besar, memakai sorban warna putih dan besar tasbihnya sebesar biji pinang. Beliau diberi wilayah Samarinda Seberang oleh kerajaan Kutai untuk mengawasi wilayah tersebut. Awalnya Kota Samarinda di sebut Samarenda (Sama Rendah), dikatakan begitu karena berada dipinggiran sungai dan rumah yang berada disana adalah rumah panggung serta tidak ada perbedaan kaya dan miskin.
Sampai sekarang belum diketahui di mana letak rumah La Mohang Daeng Mangkona, dan kapan beliau meninggal serta karena apa beliau meninggal. Makam Daeng Mangkona sudah berusia 300 tahun. Kayu Nisan yang digunakan patokan belum diketahui berasal dari kayu Kalimantan atau kayu Sulawesi. Kain kuning yang melilit di nisan beliau di ibaratkan nazar.
Pak Abdillah berkata, makam yang ada disana berjumlah sekitar 100 makam. Diantaranya ada yang sudah rusak. Di paling belakang ada makam pengikut beliau yang berhinat kepada beliau. Juru kunci pertama sekaligus penemu makam yaitu kakeknya, Muhammad Toha, berlanjut ke ayahnya yang bernama Suriansyah, dan sekarang berlanjut Pak  Abdillah sendiri.
Di Makam La Mohang Daeng Mangkona sering dilakukan ritual saat menjelang bulan suci ramadhan. Adapula orang yang berkunjug untuk melakukan serangkaian ritual yang melenceng dari agama islam.
Setelah selesai bercerita, bapak Abdillah memberikan waktu sesi tanya jawab kepada kami. Banyak mahasiswa/i yang bertanya tentang La Mohang Daeng Mangkona. Dalam sesi tanya jawab, Pak Abdillah juga memberika jawaban sambil becanda gurau agar suasananya tidak begitu menegangkan. Selama awal perbincangan sampai di akhir sesi tanya jawab. Ada beberapa mahasiswa/i yang merekam ucapan Pak Abdillah  adapula yang mencatatnya.
Setelah melakukan sesi tanya jawab, kami dipersilahkan untuk melihat-lihat makam para pengikut La Mohang Daeng Mangkona. Banyak makam yag sudah rusak, namun ada juga yang masih utuh. Di sekitar makam tersebut terdapat banyak pohon buah seperti mangga. Kata Abdillah alasannya agar di sekitar makam tersebut tidak begitu menakutkan.


Kami mengambil beberapa foto makam Daeng Mangkona dan para pengikutnya. Kami juga tak lupa berfoto bersama replika kapal yang dipakai oleh Daeng Mangkona saat berlayar dari Sulawesi menuju Kalimantan. Setelah asyik berfoto-foto, kamipun segera perpamitan kepada Pak Abdillah  untuk pulang.
Legenda
Arti kata legenda dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubugannya dengan cerita sejarah. Menurut buku Sari Kata Bahasa Indonesia, Legenda adalah cerita rakyat zaman dahulu yang berkaitan denga peristiwa asal usul terjadinya suatu tempat. Walaupun demikian, karena tidak tertulis maka kisah tersebut telah terjadi distorsi sehingga seringkali jauh berbeda dari kisah aslinya. Oleh karena itu, jika legenda hendak di pergunakan sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah maka legenda harus bersih dari unsur-unsur yang mengandung sifat-sifat folklor.Jan Harold Brunvand menggolongkan legenda menjadi empat kelompok, yaitu legenda keagamaan, legenda alam gaib legenda perseorangan, dan legenda setempat.
1.      Legenda keagamaan  (Religious Legends)
Legenda keagamaan adalah legenda orang-orang yang dianggap suci atau saleh. Karya semacam itu termasuk foklor karena versi asalnya masih tetap hidup dikalangan masyarakat sebagai tradisi lisan.
2.      Legenda Alam Gaib (Supernatural Legends)
Legenda macam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar pernah terjadi dan pernah di alami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhayul” atau kepercayaan rakyat.
3.      Legenda Perseorangan (Personal Legends)
Legenda perseorangan merupakan cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap benar-benar terjadi.
4.      Legenda Setempat (Local Legends)
Legenda setempat adalah cerita yang berhubugan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yaitu bentuk permukaan suatu tempat, berbukit-bukit, berjurang dan sebagainya.
Sejarah La Mohang Daeng Mangkona
La Mohang Daeng Mangkona adalah seorang tokoh penting dalam cikal-bakal berdirinya kota Samarinda di Provinsi Kalimantan Timur saat ini. Daeng Mangkona mendirikan pemukiman di Tanah Rendah bersama rombongan dari tanah Wajo pada tahun 1668 dan dari situlah awal mula perkembangan Kota Smarinda.
La Mohang Daeng Mangkona bersama rombongan dari Wajo memilih meninggalkan kampung halamannya daripada harus tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda yang waktu itu sudah menguasai Kerajaan Gowa akibat perjanjian Bongaya. Daeng Mangkona memilih daerah pulau Borneo dan singgah di wilayah kesultana Kutai Kartanegara Ing Martadipura. (Pangeran Dipati Modjo Kusumo) setelah meminta izin pada Sultan Kutai waktu itu, Daeng Mangkona beserta rombongan diizinkan untuk menetap di suatu daerah bernama Tanah Rendah. Sejak saat itulah, wilayah Tanah Rendah didiami oleh Daeng Mangkona dan mengembangkan daerah Tanah Rendah menjadi sebuah pusat perdagangan maupun sebagai pelabuhan singgah.
Hari lahir Kota Samarinda di tetapkan pada tanggal 21 Januari 1668, yaitu tanggal kedatangaan La Mohang Daeng Mangkona yang mula-mula membangun kota ini (Samarinda Seberang sekarang). Pada tahun 1665, rombongan orang-orang Bugis Wajo yan dipimpin La Mohang Daeng Mangkona  (bergelar Pua Ado) hijrah dari tanah kesultanan Gowa ke Kesultanan Kutai. Mereka hijrah keluar pulau hingga ke Kesultanan Kutai karena tidak mau tunduk dan patuh terhadap perjanjian Bongaya, setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserah oleh pasukan Belanda. Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Sekitar tahun 1668, Sultan yang dipertuan oleh Kerajaan Kutai memerintahkan Pua Ado beserta pengikutnya yang asal Tanah Sulawesi untuk membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak lau asal Filipina yang sering melakukan perampokan diberbagai daerah pantai wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampugan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama Sama Rendah bermaksud agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya.
Sejak saat itulah Daeng Mangkona beserta pengikutnya tersebut mengembagkan daerah Tanah Rendah yang sekarang menjadi Samarinda. Maka dari itu dihadiahkan wilayah tepi Samarinda Seberang sebagai tempat bermukim para pendatag dari suku Bugis Wajo sebagai rasa terima kasih telah banyak membantu Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Kesimpulan dan Saran
Bukan Cuma kepercayaan masyarakat saja, tapi dari pemeritah sendiri sudah melakukan penelitian dan membenarkan bahwa makam tersebut merupakan peristirahatn terakhir Daeng Mangkona.
Saran yang bisa saya berikan, alangkah baiknya jika makam para pengikut Daeng mangkona  di perbaiki agar menjadi tempat peristirahatan yang layak untuk para rombongan Bugis Wajo yang membangun Kota Samarinda bersama Daeng Mangkona.
Dan alangkah baiknya pula, jika para ahli meneliti lagi atau menelusuri kembali mengenai sejarahnya La Mohang Daeng Mangkona. Makam La Mohang Daeng Mangkona adalah salah satu Cagar Budaya, yang pastinya akan menjadi tempat penting bagi para penikmat wisata termsuk para pelajar yang berkecimpung ke dalam masalah kebudayaan dan sejarah.

Lokasi Situs Makam
Makam La Mohang Daeg Mangkona terletak di Jln. Mas Penghulu Kelurahan Mesjid, Samarinda Seberang. Agak sussah menuju makam ini disebebkan perbaikan jalan dan jalan kecil yang hanya dapat dilewati kendaraan roda dua dan roda empat.

Sumber :
Tim Abdi Guru. 2004. Seribu Pena Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga
Hendrayana. 2009. Sejarah 1: Sekolah Menengah Atas dan Madrasah  Aliyah Jilid 1 Kela X. Jakarta, p.202
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka

Sarip, Muhammad.2016. Alamah Sejarah Samarinda. Samarinda: Komunitas Samarida Bahari

Read more ...»