La Mohang Daeng Mangkona Sang Pendiri Kota Samarinda

On Selasa, 18 April 2017 0 komentar


Kami dari Sastra Indonesia kelas A, angkatan 2016, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman, mengadakan kunjungan ke Makam La Mohang Daeng Mangkona di Samarinda Seberang pada tanggal 8 April 2017.
Dari Samarinda Kota menuju Samarinda Seberang menggunakan kendaraan bermotor, masing-masing motor dinaiki oleh dua orang mahasiswa/i. Kami dijawalkan berangkat pada pukul 08.00 WITA, namun karena masih banyak mahasiswa/i yang belum datang dititik awal pertemuan, yaitu di Fakultas Ilmu Budaya, maka jadwal keberangkatan diundur sampai jam 10.00 WITA.  Setelah Dosen pembimbing dan semua mahasiswa/i datang, setiap kelas Sastra Indonesia harus mengabsen teman-teman yang hadir, lalu lanjut do’a bersama, setelah langsung berangkat menuju Makam La Mohang Daeng Mangkona. Lama perjalanan kami tempuh dari Fakultas Ilmu Budaya menuju Makam Daeng Mangkona adalah sekitar 30 menit.
Seletah sampai di lokasi, kami langsung bertemu dengan juru kunci makam yaitu Pak Abdillah. Setelah berbincang sebentar, kami langsung dipersilahkan untuk melihat Makam La Mohang Daeng Mangkona. Makam Daeng Mangkona berana di dalam rumah terbuka. Maksudnya, bangunan rumah yang hanya dikelilingi oleh pagar bukan dinding. Rumah terbuka tersebut baru dibangun pada tahun 1994.
Di sana kami mendengarkan cerita dari Pak Abdillah tentang Daeng Mangkona. Dari cerita yang bisa saya tangkap, Daeng Mangkona adalah seorang perantauan yang berlabuh di pulau kalimantan menggunakan kapal dengan membawa sekitar  200 pengikut. Beliau  adalah pendiri Kota Samarinda Seberang. Beliau juga salah satu penyebar agama islam di wilayah Kota Samarnda Seberang. Beliau digambarkan bertubuh besar, memakai sorban warna putih dan besar tasbihnya sebesar biji pinang. Beliau diberi wilayah Samarinda Seberang oleh kerajaan Kutai untuk mengawasi wilayah tersebut. Awalnya Kota Samarinda di sebut Samarenda (Sama Rendah), dikatakan begitu karena berada dipinggiran sungai dan rumah yang berada disana adalah rumah panggung serta tidak ada perbedaan kaya dan miskin.
Sampai sekarang belum diketahui di mana letak rumah La Mohang Daeng Mangkona, dan kapan beliau meninggal serta karena apa beliau meninggal. Makam Daeng Mangkona sudah berusia 300 tahun. Kayu Nisan yang digunakan patokan belum diketahui berasal dari kayu Kalimantan atau kayu Sulawesi. Kain kuning yang melilit di nisan beliau di ibaratkan nazar.
Pak Abdillah berkata, makam yang ada disana berjumlah sekitar 100 makam. Diantaranya ada yang sudah rusak. Di paling belakang ada makam pengikut beliau yang berhinat kepada beliau. Juru kunci pertama sekaligus penemu makam yaitu kakeknya, Muhammad Toha, berlanjut ke ayahnya yang bernama Suriansyah, dan sekarang berlanjut Pak  Abdillah sendiri.
Di Makam La Mohang Daeng Mangkona sering dilakukan ritual saat menjelang bulan suci ramadhan. Adapula orang yang berkunjug untuk melakukan serangkaian ritual yang melenceng dari agama islam.
Setelah selesai bercerita, bapak Abdillah memberikan waktu sesi tanya jawab kepada kami. Banyak mahasiswa/i yang bertanya tentang La Mohang Daeng Mangkona. Dalam sesi tanya jawab, Pak Abdillah juga memberika jawaban sambil becanda gurau agar suasananya tidak begitu menegangkan. Selama awal perbincangan sampai di akhir sesi tanya jawab. Ada beberapa mahasiswa/i yang merekam ucapan Pak Abdillah  adapula yang mencatatnya.
Setelah melakukan sesi tanya jawab, kami dipersilahkan untuk melihat-lihat makam para pengikut La Mohang Daeng Mangkona. Banyak makam yag sudah rusak, namun ada juga yang masih utuh. Di sekitar makam tersebut terdapat banyak pohon buah seperti mangga. Kata Abdillah alasannya agar di sekitar makam tersebut tidak begitu menakutkan.


Kami mengambil beberapa foto makam Daeng Mangkona dan para pengikutnya. Kami juga tak lupa berfoto bersama replika kapal yang dipakai oleh Daeng Mangkona saat berlayar dari Sulawesi menuju Kalimantan. Setelah asyik berfoto-foto, kamipun segera perpamitan kepada Pak Abdillah  untuk pulang.
Legenda
Arti kata legenda dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubugannya dengan cerita sejarah. Menurut buku Sari Kata Bahasa Indonesia, Legenda adalah cerita rakyat zaman dahulu yang berkaitan denga peristiwa asal usul terjadinya suatu tempat. Walaupun demikian, karena tidak tertulis maka kisah tersebut telah terjadi distorsi sehingga seringkali jauh berbeda dari kisah aslinya. Oleh karena itu, jika legenda hendak di pergunakan sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah maka legenda harus bersih dari unsur-unsur yang mengandung sifat-sifat folklor.Jan Harold Brunvand menggolongkan legenda menjadi empat kelompok, yaitu legenda keagamaan, legenda alam gaib legenda perseorangan, dan legenda setempat.
1.      Legenda keagamaan  (Religious Legends)
Legenda keagamaan adalah legenda orang-orang yang dianggap suci atau saleh. Karya semacam itu termasuk foklor karena versi asalnya masih tetap hidup dikalangan masyarakat sebagai tradisi lisan.
2.      Legenda Alam Gaib (Supernatural Legends)
Legenda macam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar pernah terjadi dan pernah di alami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhayul” atau kepercayaan rakyat.
3.      Legenda Perseorangan (Personal Legends)
Legenda perseorangan merupakan cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap benar-benar terjadi.
4.      Legenda Setempat (Local Legends)
Legenda setempat adalah cerita yang berhubugan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yaitu bentuk permukaan suatu tempat, berbukit-bukit, berjurang dan sebagainya.
Sejarah La Mohang Daeng Mangkona
La Mohang Daeng Mangkona adalah seorang tokoh penting dalam cikal-bakal berdirinya kota Samarinda di Provinsi Kalimantan Timur saat ini. Daeng Mangkona mendirikan pemukiman di Tanah Rendah bersama rombongan dari tanah Wajo pada tahun 1668 dan dari situlah awal mula perkembangan Kota Smarinda.
La Mohang Daeng Mangkona bersama rombongan dari Wajo memilih meninggalkan kampung halamannya daripada harus tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda yang waktu itu sudah menguasai Kerajaan Gowa akibat perjanjian Bongaya. Daeng Mangkona memilih daerah pulau Borneo dan singgah di wilayah kesultana Kutai Kartanegara Ing Martadipura. (Pangeran Dipati Modjo Kusumo) setelah meminta izin pada Sultan Kutai waktu itu, Daeng Mangkona beserta rombongan diizinkan untuk menetap di suatu daerah bernama Tanah Rendah. Sejak saat itulah, wilayah Tanah Rendah didiami oleh Daeng Mangkona dan mengembangkan daerah Tanah Rendah menjadi sebuah pusat perdagangan maupun sebagai pelabuhan singgah.
Hari lahir Kota Samarinda di tetapkan pada tanggal 21 Januari 1668, yaitu tanggal kedatangaan La Mohang Daeng Mangkona yang mula-mula membangun kota ini (Samarinda Seberang sekarang). Pada tahun 1665, rombongan orang-orang Bugis Wajo yan dipimpin La Mohang Daeng Mangkona  (bergelar Pua Ado) hijrah dari tanah kesultanan Gowa ke Kesultanan Kutai. Mereka hijrah keluar pulau hingga ke Kesultanan Kutai karena tidak mau tunduk dan patuh terhadap perjanjian Bongaya, setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserah oleh pasukan Belanda. Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Sekitar tahun 1668, Sultan yang dipertuan oleh Kerajaan Kutai memerintahkan Pua Ado beserta pengikutnya yang asal Tanah Sulawesi untuk membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak lau asal Filipina yang sering melakukan perampokan diberbagai daerah pantai wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampugan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama Sama Rendah bermaksud agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya.
Sejak saat itulah Daeng Mangkona beserta pengikutnya tersebut mengembagkan daerah Tanah Rendah yang sekarang menjadi Samarinda. Maka dari itu dihadiahkan wilayah tepi Samarinda Seberang sebagai tempat bermukim para pendatag dari suku Bugis Wajo sebagai rasa terima kasih telah banyak membantu Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Kesimpulan dan Saran
Bukan Cuma kepercayaan masyarakat saja, tapi dari pemeritah sendiri sudah melakukan penelitian dan membenarkan bahwa makam tersebut merupakan peristirahatn terakhir Daeng Mangkona.
Saran yang bisa saya berikan, alangkah baiknya jika makam para pengikut Daeng mangkona  di perbaiki agar menjadi tempat peristirahatan yang layak untuk para rombongan Bugis Wajo yang membangun Kota Samarinda bersama Daeng Mangkona.
Dan alangkah baiknya pula, jika para ahli meneliti lagi atau menelusuri kembali mengenai sejarahnya La Mohang Daeng Mangkona. Makam La Mohang Daeng Mangkona adalah salah satu Cagar Budaya, yang pastinya akan menjadi tempat penting bagi para penikmat wisata termsuk para pelajar yang berkecimpung ke dalam masalah kebudayaan dan sejarah.

Lokasi Situs Makam
Makam La Mohang Daeg Mangkona terletak di Jln. Mas Penghulu Kelurahan Mesjid, Samarinda Seberang. Agak sussah menuju makam ini disebebkan perbaikan jalan dan jalan kecil yang hanya dapat dilewati kendaraan roda dua dan roda empat.

Sumber :
Tim Abdi Guru. 2004. Seribu Pena Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga
Hendrayana. 2009. Sejarah 1: Sekolah Menengah Atas dan Madrasah  Aliyah Jilid 1 Kela X. Jakarta, p.202
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka

Sarip, Muhammad.2016. Alamah Sejarah Samarinda. Samarinda: Komunitas Samarida Bahari

0 komentar:

Posting Komentar