PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR DAN JAWABAN TERHADAP ITU

On Senin, 24 April 2017 0 komentar


Harian Kompas 4 September 1974 menyiarkan acara baca puisi di Bandung, yang dikabarkan akan disertai penyair-penyair Bandung (Wing Kardjo, Senanto Yuliman, Saini K.M., Sutardji) dan luar kota, yaitu Muhammad Ali (Surabaya), Darmanto Jt (Semarang), Umbu Landu Paranggi (Yogyakarta), Taufik Ismail dan Slamet Kirnanto (Jakarta). “Selain pembacaan puisi juga akan diadakan pengadilan puisi,” tulis Kompas. “yaitu penilaian puisi Indonesia modern, yang ditulis oleh penyair-penyair kita.” Acara ini terbuka untuk umum.
Slamet Kirnanto yang dijadikan jaksa. Majelis hakim terdiri dari dua orang, yaitu Hakim Ketua Sanento Yuliman, didampingi Hakim Darmanto Jt. Sejumlah saksi pun sudah dipilih. Para hakim sudah duduk (meja mereka ditutup beledu hitam tapi pali sidang tak ada, jadi pakai batu dibungkus koran), jaksa dan pembela begitu pula, serta hadirin sekitar 200 orang di Aula Universitas Parahyangan.
Slamet Kirnanto membacakan tuntutannya yang diluar dugaan, judulnya degan semangat Zola 76 tahun yang lalu: “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indoneisa Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”
Dakwaan merupakan sejumlah kejengkelan terhadap kritik puisi, terhadap kritikus M.S. Hutagalung dan H.B. Jassin, terhadap penjagoan Subagio Sastrowardoyo oleh MSH serta penjagoan W.S. Rendra oleh HBJ.
Bunyi tuntutan seperti ini: Pertama, para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi mutakhir, khususnya HBJ dan MSH, harus “dipensiunkan” dari perananyang pernah mereka miliki. Kedua, para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Darmono) di cuti-besarkan. Ketiga, para penyair mapan seperti Subargio, Rendra, Goenawan, dan sebangsanya dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan, kemudian inkarnasinya dibuang pula kepulau paling terpencil. Keempat dan terakhir, Horison dan Budaya Jaya harus dicabut SIT-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku, dan dilarang untuk dibaca peminat sastra serta masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra dan puisi yang kita harapkan sehat dan wajar. Ini semua didasarkan atas “Ktab Undang-undang Hukum Puisi”.
Sebuah kursi kosong terletak di tengah ruanngan pengadilan, tempat duduk terdakwa yang tak berjasad: Puisi Mutakhir Indonesia. Tapi semua orang lupa dan saksi-saksi pun bergantian saja menduduki kursi terdakwa itu, sesudah menyeretnya kesana kemari. Barangkali ini mengandung perlambang juga pada pengadilan itu: orang jadi lupa pada isi puisi itu sendiri, tapi lebih mencereweti serta menyinyir-nyinyir tentang orang-orangnya (penyair, kritikus, diri sendiri secara langsung atau tak langsung) dan tentang mediumnya.
Saksi ada dua macam, yang memberatkan dan yang meringankan tuduhan,. Golongan pertama adalah Sutardji, Sides Sudyarto, Abdul Hadi dan Penusuk Eneste, kemudian golongan kedua Saini K.M., Wing Kardjo, Ardi Darmadji dan Yudhistira Ardi Noegraha. Personalia saksi berubah dari rencana semula karena Muhammad Ali (Surabaya) dan Umbu Landu Paranggi (Yogyakarta) ternyata tidak datang.
Pembela menolak keempat diktum tuduhan jaksa dengan uraian panjang lebarb dalam semangat pembelaan pengadilan plonco-plonci calon mahasiswa.
Sidang dihentikan sejenak untuk para hakim menyusun keputusan dengan mengindahkan Kitab Undang-undang Hukum Puisi, mempertimbangkan Hukum Adat serta membaca Cerita Adat.
Hakim Darmanto menolak semua tuntutan jaksa. Diputuskan pula bahwa Puisi Mutakhir Indonesia memang ada, Cuma belum berkembang. Bunyi keputusan :
Pertama, para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya, dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra yang akan segera didirikan.
Kedua, para redaktur Horizon tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka, selama mereka tidak merasa malu. Bila dikehendaki sendiri, mereka boleh mengundurkan diri.
Ketiga, para penyair mapan, established, masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk ke dalam Panti Asuhan atau Rumah Perawatan Epigon.
Keempat, majalah sastra Horizon tidak perlu dicabut Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbitnya, hanya di belakang nama lama harus diembel-embeli kata “Baru”, sehingga menjadi Horizon Baru. Masyarakat tetap mendapat izin membaca sastra dan membaca puisi.
Demikian keputusan majelis hakim.




Sumber :
Pemusuk Eneste : Pengadilan Puisi

0 komentar:

Posting Komentar